Berbicara tentang pendidikan Islam, agaknya akan dianggap terlalu idealis bila kita hanya berkutat pada persoalan fundasional filosofis, karena pendidikan sangat concern terhadap persoalan-persoalan operasional. Diantara kelemahan dari kajian pendidikan Islam yang selama ini tertulis dalam literatur-literatur kependidikan Islam adalah mereka kaya konsep fundasional atau kajian teoretis, tetapi miskin dimensi operasional atau praktisnya. Atau sebaliknya kaya operasional/ praktik, tetapi lepas dari konsep fundasional/ dimensi teoretiknya.Untuk mencegah timbulnya kesenjangan antara teori dan praktik, atau untuk mencari titik temunya maka diperlukan kajian yang lebih mendalam serta fokus terhadap persoalan pendidikan Islam dan pengembangannya dalam konteks desain pembelajaran pendidikan agama Islam.
Merosotnya kualitas moral dan akhlak anak dewasa ini mengindikasikan betapa pendidikan agama yang selama ini menjadi ujung tombak pembentukan karakter dan moral bangsa telah mengalami suatu krisis yang memprihatinkan. Pendidikan agama dianggap tidak lagi mampu membentengi anak-anak didik dengan akhlaqul karimah yang kuat dalam menghadapi tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta persaingan global di era modern ini.
Titik Tolak
Di dalam Undang-undang RI No 20 TH.2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 dijelaskan bahwa “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Menurut Muhaimin (2004), pengertian pendidikan cakupannya sangat luas, meliputi; aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana orang akan menjalani dan memanfaatkan hidup dan kehidupannyua), sikap hidup, dan ketrampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental dan sosial. Sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup, sikap hidup atau ketrampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak. Dalam konteks pendidikan Islam, berarti pandangan hidup, sikap hidup dan ketrampilan hidup tersebut harus bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Sunnah. Al-Hadits.
Pendidikan Islam menurut Langgulung (1997), dimaknai sebagai; al-Tarbiyah al-diniyah (pendidikan keagamaan), al-Ta’lim al-diny(pengajaran keagamaan). Dalam konteks historik-sosiologik, pendidikan Islam, ada juga yang memaknainya sebagai pendidikan/ pengajaran keagamaan atau keislaman (al-tarbiyah al-diniyah, al-ta’lim al-diny, dan al-ta’lim al-islami) dalam rangka tarbiyah al-muslimin (mendidik orang-orang Islam), untuk melengkapi dan atau membedakannya dengan pendidikan sekuler (non keagamaan). Misalnya adanya sistem pendidikan madrasah diniyah yang didirikan sebagai wahana penggalian, kajian dan penguasaan ilmu-ilmu keagamaan serta pengamalan ajaran agama Islam bagi para peserta didik muslim. Sistem pendidikan semacam ini tetap tumbuh dan berkembang terutama di pesantren-pesantren, majlis ta’lim, TPA/ TPQ dan sebagainya.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang serba plural, baik dalam agama, ras, etnis, tradisi, budaya dan sebagainya, adalah sangat rentan terhadap timbulnya perpecahan dan konflik-konflik sosial. Agama dalam kehidupan masyarakat majemuk dapat berperan sebagai faktor pemersatu (integratif) dan dapat pula berperan sebagai faktor pemecah (disintegratif). Fenomena semacam ini akan banyak ditentukan setidaknya oleh: 1) teologi agama dan doktrin ajarannya; 2) sikap dan perilaku pemeluknya dalam memahami dan menghayati agama tersebut; 3) lingkungan sosio-kulturl yang mengelilinginya; serta 4) peranan dan pengaruh pemuka agama, termasuk guru agama, dalam mengarahkan pengikutnya.
Karena itu, pembelajaran pendidikan agama Islam diharapkan mampu mewujudkan ukhuwah islamiyah dalam arti luas tersebut. Pada tahap selanjutnya, menjadi penting bagi guru agama untuk bisa menformulasikan bagaimana ia mampu membelajarkan pendidikan agama yang difungsikan sebagai panduan moral dalam kehidupan masyarakat majemuk tersebut. Dan bagaimana guru agama mampu mengangkat dimensi-dimensi konseptual-substansial dari ajaran agama seperti; kejujuran, keadilan, kebersamaan, kesadaran akan hak dan kewajiban, ketulusan dalam beramal, musyawarah dan sebagainya, untuk diaktualisasikan dan direalisasikan dalam hidup dan kehidupan masyarakat yang plural tersebut.
Desain Pembelajaran PAI
Pembelajaran pada dasarnya merupakan suatu rekayasa yang diupayakan untuk membantu peserta didik agar dapat tumbuh berkembang sesuai dengan maksud dan tujuan penciptaannya. Dalam konteks proses belajar di sekolah/ madrasah, pembelajaran tidak dapat hanya terjadi dengan sendirinya, yakni peserta didik belajar berinteraksi dengan lingkungannya seperti yang terjadi dalam proses belajar di masyarakat (social learning). Proses pembelajaran harus diupayakan dan selalu terikat dengan tujuan (goal based). Oleh karenanya, segala kegiatan interaksi, metode, dan kondisi pembelajaran harus direncanakan dengan selalu mengacu pada tujuan pembelajaran yang dikehendaki.
Dengan demikian, inti kegiatan desain pembelajaran agama Islam adalah memilih, menetapkan, dan mengembangkan metode pembelajaran yang cocok dengan kondisi yang ada untuk mencapai hasil pembelajaran agama Islam yang diharapkan. Usaha-usaha tersebut tentunya harus selalu berpijak kepada empat hal pokok sebagai berikut:
a. Tujuan pembelajaran agama Islam yang ingin dicapai
b. Isi pembelajaran agama Islam yang harus dipelajari peserta didik untuk mencapai tujuan tersebut.
c. Sumber belajar agama Islam yang tersedia dan dapat mengantarkan pesan pembelajaran yang lebih efektif dan efisien, dan
d. Karakteristik peserta didik yang belajar, terutama yang terkait dengan kemampuan yang telah dikuasai peserta didik, tingkat sosial ekonomi, kelas sosial dalam struktur masyarakat, jenjang pendidikan, cara belajar, gaya belajar, dan sebagainya.
Kualitas hasil suatu produk metode pembelajaran sangat ditentukan oleh ketepatan dalam memilih dan mengembangkan setiap langkah pembelajaran. Salah satu langkah penting yang harus diperhatikan oleh desainer pembelajaran pendidikan agama setelah menetapkan tujuan, karakteristik peserta didik, dan hasil pembelajaran yang diharapkan, adalah menetapkan strategi pengorganisasian pembelajaran, teruatama strategi pengorganisasian pembelajaran pada tingkat makro, yaitu strategi yang berkaitan dengan pengorganisasian keseluruhan struktur isi bidang studi pendidikan agama Islam sebagai kesatuan utuh yang akan diajarkan.
Reigeluth, C.M (1983), dalam bukunya Instructional Design menyebutkan, pengorganisasian isi pembelajaran sebagai strategi yang mengacu kepada cara untuk membuat urutan (sequencing) dan sintesis (synthesizing) terhadap fakta-fakta, konsep-konsep, dan prosedur-prosedur isi bidang studi yang berkaitan satu dengan yang lainnya sebagai satu kesatuan yang utuh. Sequencing mengacu kepada pembuatan urutan penyajian isi bidang studi pendidikan agama Islam, dan synthesizing mengacu kepada upaya untuk menunjukkan kepada peserta didik tentang kaitan antara isi bidang studi agama Islam sebagai satu kesatuan.
Di antara praktik yang menyedihkan adalah perancang pembelajaran PAI cenderung mengorganisasikan isi pembelajaran dengan mengikuti urutan topik atau bab yag ada dalam suatu buku teks. Padahal buku-buku teks yang diterbitkan dan umumnya dipakai di sekolah/ madrasah dewasa ini, penyusunannya kerapkali tanpa mempertimbangkan struktur isi bidang studi yang didesain untuk keperluan strategi pembelajaran. Isi buku teks lebih banyak disusun dengan menggunakan pendekatan disiplin ilmu yang mengutamakan kekayaan atau kelengkapan isi, bukan pendekatan metodologi pembelajaran sehingga terlihat tidak ada kaitan antara bab yang satu dengan bab yang lain, atau antara bagian yang satu dengan bagian lain yang lebih rinci.Apabila kondisi buku teks yang demikian digunakan sebagai dasar pengorganisasian isi pembelajaran pendidikan agama maka kemungkinan peserta didik akan mengalami kesulitan dalam memahami struktur isi bidang studi agama. Pembelajaran cenderung mengkaji setiap bab satu per-satu secara berurutan sesuai dengan nomor urut bab. Kajian tidak akan maju ke bab berikutnya sebelum bab tersebut tuntas dibahas. Kadang kajian suatu bab dilakukan dengan mengikuti nomor urut halaman buku teks, tanpa ada yang tertinggal.Kajian tuntas bab per bab menyebabkan peserta didik cenderung hanya memberikan perhatian pada isi setiap bab secara terpisah sehingga mudah sekali terjadi interferensi dalam ingatan peserta didik (Degeng, 1988). Apa yang telah dipelajari dalam bab tertentu akan mengganggu kemampuan peserta didik dalam mempelajari bab berikutnya.
Inovasi dan Pengembangan
Kualitas pelayanan pengajaran seorang guru/ dosen adalah sangat strategis karena menjadi ujung tombak perubahan (the agent of change) yang berhadapan langsung untuk melakukan perubahan proses pengembangan kualitas peserta didik sebagai output. Keberhasilan kualitas pengajaran berada di kesuksesan kualitas proses pembelajaran mereka. Selama ini inovasi pembelajaran dalam dunia pendidikan kita dirasa miskin inovasi. Supremasi guru/ dosen di depan kelas sangat besar, akibatnya pembelajaran cenderung satu arah. Kita merasa sebagai yang paling tahu, paling pinter, dan paling mampu dari peserta didik. Ini merupakan penyakit kronis yang harus dipangkas. Pembelajaran hendaknya merangsang peserta didik berfikir dan bersikap aktif. Hal ini sulit terlaksana apabila kelas kering inovasi. Seting kelas kita masih menunjukkan keadaan kurang dinamis. Setting ruangan yang mirip "mimbar dan jamaah" perlu digeser menjadi ruangan yang memudahkan interaksi sesama peserta didik dan peserta didik dengan gurunya.
Upaya inovasi pembelajaran aktif memerlukan kerjasama sinergis di antara civitas akademik, khususnya guru dan peserta didik. Selama ini masih banyak siswa masuk kelas dengan ’kepala kosong’, akibatnya tidak ada komunikasi akademik dalam kelas. Seharusnya kelas menjadi ajang sharing kondusif sesama peserta didik dan guru, dengan begitu pembelajaran akan lebih bermakna. Budaya masyarakat Indonesia yang suka menerima petunjuk juga merupakan hambatan kultur pembelajaran. Kegiatan belajar aktif tidak dapat berlangsung tanpa partisipasi siswa. Kita dapat mempertimbangkan beberapa metode seperti; metode diskusi terbuka, panel, jajak pendapat, reading aloud, everyone is a teacher here, dan lainnya.
Penutup
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa diperlukan pemikiran dan usaha yang sungguh-sungguh bagi para desainer pembelajaran PAI agar dapat memahami konsep dasar desain pembelajaran, dan mampu mengidentifikasi unsur pokok dalam desain pembelajaran. Selanjutnya ia mampu menjabarkan, mengembangkan dan menghubungkan diantara unsur pokok tersebut menjadi suatu kesatuan yang utuh dan terkait, hingga pada akhirnya akan tumbuh poses pembelajaran yang aktif, efektif, dan efisien.
Untuk pengembangan lebih lanjut perlu kiranya diusulkan pembentukan semacam Center for Instructional Development (CID) di lingkungan satuan pendidikan kita masing-masing, guna membahas standar kualitas pembelajaran khususnya terkait dengan pembelajaran PAI. Wallahua’lam.
---------------------
Oleh: Ali Muhdi, M.S.I.
Penulis adalah pemerhati dunia pendidikan, bekerja di MTs Nurul Ummah Yogyakarta
Sumber: http://pembelajaran.org/2009/01/kolom-pojok-pedagogik-memaksimalkan.html
0 komentar:
Posting Komentar