"Lisan (lidah) manusia tidak akan kehabisan menyifati keuntungan agama orang yang modal hidupnya taqwa dan sebaliknya lisan manusia juga tidak akan kehabisan menyifati kerugian agama orang yang modal hidupnya dunia." (A`masy*)
Siapapun pasti menghendaki keberuntungan dalam setiap transaksi, lebih-lebih transaksi bisnis, dan sebaliknya tidak ada seorang pun yang menghendaki kerugian sekecil apa pun, apatah lagi kerugian keberagamaannya. Dalam satu doa yang diajarkan Rasulullah Saw ditegaskan pentingnya setiap diri memohon kepada Allah Swt agar dikaruniai sikap keberagamaan yang baik. Sebab keberagamaan seseorang merupakan benteng totalitas hidupnya. ”Ya Allah, perbaikilah sikap keberagamaan kami yang akan menjadi benteng urusan kami.”
Dalam kehidupan, keuntungan dan kerugian sangat ditentukan oleh aset yang dimiliki dan manajemen pengembangannya. Dalam dunia bisnis, sesuatu akan disebut aset jika mempunyai nilai manfaat lebih dibanding biaya yang harus dikeluarkan. Pada umumnya yang disebut aset adalah modal yang kita punyai, baik yang bersifat materiel, fisik kebendaaan seperti tanah dan rumah atau yang bersifat immateriel, nonmateri seperti kemampuan dan pengalaman seseorang dalam bidang tertentu.
Pada kenyataannya, proses keberagamaan seseorang sangat ditentukan oleh potensi-potensi imateriel yang melekat dan sekaligus menjadi modal bagi kemajuan spiritualnya. ”Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”(QS, al-Syams [91]: 8)
Secara esensial takwa merupakan “kesadaran Ilahiah” dan “rasa takut kepada Allah Swt” yang makna perluasannya berarti “kesalihan”. Dalam Islam takwa diterjemahkan secara beragam, dari rasa takut kepada Allah, keilahian, kesalihan, prilaku yang benar, kebajikan, hingga penolakan terhadap kejahatan.
Takwa dalam satu sisi merupakan indikator kematangan keberagamaan seseorang, ”Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.”(QS, al-Hujurat [49]: 13), dan di sisi lain ia merupakan proses keberagamaan itu sendiri. Yaitu sebuah proses yang menurut al-Ashfahani akan menjadikan jiwa berada dalam perlindungan dari sesuatu yang ditakuti hingga mampu menjaga diri dari segala perbuatan dosa.
Selain itu, takwa adalah aset produktif yang harus dikembangkan melalui upaya “introspeksi” dan “interiorisasi” (takhliyah dan tahliyah) yang dapat meningkatkan kemajuan spiritualitas seseorang. Adalah kewajiban setiap insan untuk selalu bersungguh-sungguh dan terus-menerus menerapkan metode-metode penyucian jiwa yang dapat mengantarkannya kepada kemenangan dan keberuntungan sejati. “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu” (QS, al-Syams [91]: 9).
Sebaliknya, orang yang hanya mengandalkan aset yang bersifat materiel, fisik kebendaaan, secara spiritual dia tidak akan pernah mengalami kemajuan. Bahkan bisa jadi jiwanya dilumpuhkan oleh segala sesuatu yang bersifat sarwa duniawi. Ketika sang jiwa mengalami keletihan maka virus-virus kemaksiatan akan mudah menyerang dan menggerogoti potensialitasnya.
Selanjutnya sang diri akan sangat mencintai dunia hingga malas beramal yang mendekatkan dirinya kepada Allah Swt. Ia melupakan Allah, tidak merindukan-Nya, tidak pula mengharapkan pertemuan dengan-Nya. Padahal sekuat apa pun seseorang mencintai dunia, ia tetap tidak akan mampu menghindar dari kepastian meninggalkannya. Di suatu saat yang telah ditentukan ia pasti akan menemui kematian, sebuah prosesi meninggalkan dunia fana untuk selama-lamanya.
Salah satu akibat menjadikan dunia sebagai aset utamanya, sang jiwa akan dilumuri kekotoran seperti sikap ingkar (fujur), penyimpangan (fisq), dan penindasan (zhulm) yang menyebabkannya dilanda kerugian dan nestapa. “Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS, al-Syams [91]: 9).
Tanpa ketakwaan ketiga sifat buruk tersebut akan membobol benteng pertahanan jiwa seseorang. Sebab ketakwaan seorang hamba kepada Allah Swt adalah benteng perlindungan di antara dia dengan yang ditakuti dari kemurkaan dan kemarahan Allah dengan melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan.
Ketika benteng perlindungan tersebut bobol, maka banjir maksiat akan melanda sang diri dengan amat dahsyatnya. Gelombang dan kederasan arusnya akan menghantam seluruh aset yang dimilikinya. Akhirnya, banjir maksiat akan menghancurkan semua bangunan keberagamaan yang pernah ditegakkannya.
Akibatnya ia mencari-cari perlindungan kepada selain Allah yang menyebabkan dirinya dilanda kerugian dan penyesalan yang berkepanjangan. “Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (QS, al-Nisa [4]: 119).
Wallahu A’lam.
*) A'masy (61-148 H) adalah Sulaiman bin Mahran al-Asadi, Abu Muhammad, seorang tabiin terkenal yang berasal dari al-Rayy dan menetap serta meninggal di Kufah. Ia dikenal sebagai pakar al-Qur`an dan al-Hadits serta masalah Faraidh (pembagian harta pusaka). A'masy telah meriwayatkan sekitar 1300 hadits. Dikatakan, tidak ada seorang penguasa pun yang meremehkan majelis A'masy meskipun hidupnya tergolong sangat fakir.
Sumber: Era Muslim Online
0 komentar:
Posting Komentar