"Belajarlah terus, karena bisa saja ilmu yang kita miliki sudah kadaluarsa atau bahkan salah. Belajarlah sampai akhir hayat."

Senin, 05 Juli 2010

Keluarga Sebagai Pusat Pendidikan Agama

Di tengah derasnya arus modernisasi yang melanda Indonesia berakibat terkikisnya nilai-nilai agama di kalangan masyarakat. Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat seharusnya mempunyai tanggung jawab sebagai benteng terakhir untuk menaggulangi krisis tersebut.

Proses modernisasi yang terjadi dalam masyarakat cenderung saya lihat kurang memperhatikan pendidikan agama di lingkungan rumah tangga. Dengan kemajuan pendidikan yang diperoleh perempuan, tanggungjawab ekonomi keluarga sekarang ini bukan lagi dipikul oleh laki-laki tetapi juga perempuan.

Dengan kesibukan kaum ibu bekerja maka pendidikan agama bagi anaknya kurang dikontrol, padahal tidak semua aspek pendidikan agama bisa diberikan sekolah yang hanya beberapa jam saja.

Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari juga sering terlihat bahwa orang tua tidak memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya dalam hal yang berpengaruh terhadap pembentukan sikap keagamaan anak.

Misalnya saja, acap terlihat bahwa orang tua yang menyuruh anknya sholat dan mengaji, tetapi kedua orang tuanya tersebut tidak mengaji dan sholat, bahkan ada orang tua yang menyuruh anaknya berpuasa, namun kedua orang tuanya makan di siang hari, lalu ketika anak bertanya kepada orang tuanya, kenapa ibu atau bapak tidak puasa-jawaban yang diterima adalah, “ini bukan urusanmu. Ini urusan orang tua”.

Jawaban atau sikap orang tua seperti ini jelas tidak mendukung penanaman nilai-nilai ajaran agama kepada anak. Bahkan mungkin buruk pengaruhnya kepada anak bersangkutan.

Dalam proses pendidikan agama kepada peserta didik, peran orang tua memang sangat menentukan. Soal ini agaknya, tidak bisa orang tua berlepas begitu saja. Untuk kalangan orang tua yang mampu, terutama di kota besar sekarang ini memang terihat mempunyai kepedulian terhadap anak. Antara lain dengan mendatangkan guru mengaji atau ustadz ke rumah mereka.

Namun tentu saja ini pun belum menyelesaikan masalah, sebab yang terpenting adalah bahwa bahwa orang tua harus memberikan contoh-contoh yang baik kepada anak.

Seorang anak yang mendapat pendidikan agama dari ustadznya, sementara pendidikan yang diterimanya itu berlawanan dengan perilaku orang tuanya tentu saja akan mengalami split personality ( Kepribadian yang pecah ). Karena apa yang diterimanya dari guru agama kontradiksi dengan perilkau yang dilihatnya terhadap kedua orang tuanya. Dari sinilah pentingnya contoh yang baik dari orang tua.

Bagi orang tua yang tidak mendapat pendidikan formal yang lebih baik, dan secara ekonomis juga kurang mampu nampaknya juga perlu diberi bekal pengetahuan agama.

Suatu penataran atau kursus yang sedrhana agaknya perlu diberikan buat mereka secara praktis. Ini mungkin dilakukan oleh lembaga-lembaga Islam yang mau secara sukarela melakukannya.

Ini terutama mengingat, seperti diuraikan di muka, karena keluargalah yang paling berpengaruh dalam memberikan watak anak. Bukanlah hadits pernah mengatakan yang artinya, anak itu dilahirkan dalam keadaan suci.

Kedua orang tuanyalah yang menyebakan mereka menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. Ini peringatan bahwa tanggungjawab pendidikan agama bukan hanya di sekolah tapi keluarga.


Sumber: Republika Newsroom

0 komentar:

Pengin cari artikel lainnya...?!?