"Belajarlah terus, karena bisa saja ilmu yang kita miliki sudah kadaluarsa atau bahkan salah. Belajarlah sampai akhir hayat."

Rabu, 28 April 2010

Ada pergeseran menarik pada umat Islam Indonesia dalam soal mempelajari Alquran. Dulu, mereka yang melek terhadap Alquran terdapat di kampung-kampung. Kini kondisinya sedikit berbalik. Kesadaran melek Alquran justru kini muncul di perkotaan. Hal itu disebabkan mereka secara terbuka bisa menerima berbagai metode mutakhir untuk mempelajari Alquran. Masyarakat pedesaan sangat sulit untuk menerima pembaharuan metode mempelajari Alquran. Bahkan, ada yang sampai mengharamkan. Padahal, metode baru itu muncul untuk menyempurnakan metode yang sebelumnya ada. Tujuannya sama yaitu untuk memudahkan cara belajar dan melek huruf Alquran.

Perkembangan ini diawali dengan ditemukannya metode belajar Al quran Qiroaty oleh almarhum KH. Dahlan Salim Zarkasi. Pada tanggal 1 Juli 1986 beliau mendirikan TK Al Quran Raudhatul Mujawwidin di Semarang yang pertama di Indonesia. Berdirinya TK Al Quran ini menjadi awal gerakan yang spektakuler. Gerakan ini menjadi lebih berkembang lagi setelah ditemukan metode Iqro’ oleh almarhum KH As’ad Humam dari Yogjakarta yang mendapat inspirasi dari Qiroaty. Beliau mendirikan TK AlQuran pada 16 Maret 1988 di Kotagede. Setahun kemudian, ide beliau direspon oleh anak-anak muda Islam yang tergabung di dalam Badan Komunikasi Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) yang pada Munasnya ke-5 di Surabaya 27 -30 Juni 1989 menjadikan TK Al Quran ini sebagai program nasional. Pertumbuhan TK Al Quran dilanjutkan dengan munculnya Taman Pendidikan Al Quran (TPQ).
Keberadaan TPQ benar-benar strategis sebagai benteng iman dan akhlak anak sejak dini, karena yang digarap adalah anak-anak dalam periode emas. Perkembangan kecerdasan dan rasa berdasarkan kajian neurologi terjadi pada saat bayi lahir. Pada saat itu otak bayi mengandung kira-kira 100 milyar neuron yang siap mengadakan sambungan antarsel. Selama satu tahun pertama otak bayi berkembang sangat pesat dan menghasilkan bertrilyun-triltun sambungan antarneuron yang banyaknya melebihi kebutuhan. Sambungan itu harus diperkuat melaui rangsangan psikososial, sebab sambungan yang tidak diperkuat akan mengalami atrofi (penyusutan) dan musnah. Inilah yang pada akhirnya mempengaruhi kecerdasan anak.

Penelitian Baylor College of Medicine menyatakan bahwa bila anak jarang memperoleh rangsangan pendidikan, maka perkembangan otaknya lebih kecil 20-30 % dari ukuran normal anak seusianya. Bahkan terbukti bahwa 50 % kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi sejak saat ia berusia 4 tahun. Pada usia 8 tahun kapabilitas kecerdasan orang akan menjadi 80 % dan akan mencapai titik kulminasi pada saat anak usia 18 tahun. Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi pad 4 tahun pertama sama besar dengan perkembangan yang terjadi dalam waktu 4 tahun berikutnya sebelum perkembangan otak mengalami stagnasi.

Di sinilah makna strategis gerakan TPQ dalam menyiapkan SDM berkualitas demi kepentingan umat dan bangsa. Kecerdasan otak yang tidak diimbangi kecerdasan emosional, kecerdasan kreatif, kecerdasan sosial dan spiritual hanya akan menjadikan manusia mesin yang tak berjiwa.

Saat ini perkembangan TPQ bak jamur di musim hujan. Gerakan ini murni muncul dari masyarakat. Sadar akan pentingnya kedudukan dan keberadaan dirinya yang senantiasa dituntut maju, kreatif dan ikhlas, maka para pengelola lembaga pendidikan Al Qur’an di Jawa Tengah bersepakat untuk berhimpun diri dalam sebuah wadah yang bernama Badan Koordinasi Taman Pendidikan Alqur’an Provinsi Jawa Tengah Atau Badko TPQ Jawa Tengah pada tanggal 4 Mei 1994.

Badko TPQ Jateng yang saat ini sudah berusia 15 tahun akan mengadakan Musyawarah Wilayah ke-4 pada tanggal 24-26 April nanti. Ada beberapa agenda yang menjadi krusial untuk segera dibenahi dalam Muswil. Pertama, kondisi dan kualitas TPQ sangat beragam, Jumlah TPQ dari waktu-ke waktu semakain bertambah. Menurut data emis Depag tahun 2004-2005 jumlah TPQ di Jawa Tengah tercatat sebanyak 19.119 dengan jumlah santri sebanyak 547.650 dan jumlah pengajar/ ustadznya sebanyak 89.918. Perkembangannya semakin hari semakin meningkat. Data terakhir sementara jumlah TPQ di Jateng telah mencapai sekitar 21.000-an. Jumlah ini memerlukan penanganan yang lebih baik. Oleh karena itu diperlukan segera standardisasi TPQ dengan cara akreditasi. Akreditasi ini dipakai untuk memetakan kualitas dan tipe TPQ. Dengan adanya akreditasi ini juga membantu pihak-pihak yang akan menyalurkan bantuannya tepat sasaran. Sebagai konsekuensinya diperlukan pembahasan sistem akreditasi dan supervisi.

Kedua, menyangkut semakin langkanya kader penggerak TPQ. Saat ini rata-rata pengajar TPQ adalah para remaja dan mahasiswa. Data menunjukkan bahwa dari sebanyak 89.918 ustadz, yang merupakan lulusan SMP/ SMA sebanyak 58.675, sedangkan lulusan perguruan tinggi 7.792, lainnya 23.451 tidak lulus pendidikan formal. Keberadaan mereka sebagai pengajar bukanlah professional. Rata-rata hanya samben. Ketika mereka lulus kuliah mereka dihadapkan pada situasi yang realistis antara melanjutkan mengajar atau bekerja. Banyak yang akhirnya meninggalkan tugas mengajarnya. Mengajar TPQ saat ini memang belum dapat dijadikan sebagai penopang hidup yang layak. Di sinilah peran pemerintah sangat diharapkan. Sebagai solusinya perlu didirikan lembaga-lembaga pendidikan yang mempersiapkan tenaga pengajar Al Quran ini. Lembaga ini harus profesional karena mengajarkan sesuatu yang jika salah akan berimplikasi pada dosa.

Keempat, perlu segera dirumuskan panduan pendidikan Pasca-TPQ. Akhir-akhir ini banyak pengelola TPQ bertanya-tanya tentang materi setelah anak bisa membaca Al Qur’an , menulis huruf Arab, menghafalkan doa pendek dan mampu mendirikan sholat. Tentunya materi lanjutannya harus sustainable dengan pendidikan Al Qur’an. Alhamdulillah saat ini telah ditemukan metode membaca dan memahami kitab gundul secara cepat dan sistematis yaitu Amtsilaty oleh KH Taufiqul Hakim Jepara.

Kelima, tidak sinkronnya pendidikan TPQ dengan pendidikan formal. TPQ adalah pendidikan komplemen yang hanya dilaksanakan 1-2 jam sehari dan anak mempunyai hak tidak masuk. Karakteristik TPQ ini menyebabkan anak harus meninggalkan TPQ-nya ketika sekolah formalnya ada kegiatan lain misalnya les berenang, balet, atau bahasa Inggris yang semua itu bukan merupakan “pertanyaan kubur”. Mengingat keberadaan TPQ yang strategis untuk benteng akhlak, maka dirasa perlu pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan menjadikan pelajaran Al Quran ini menjadi muatan wajib.

Keenam, beragamnya metode. Badko TPQ Jateng merupakan tenda besar bagi berbagai macam metode pengajaran membaca Al Qur’an. Selain Qiroaty dan Iqro’ saat ini berkembang pula metode Al Ma’arif, Yanbu’a, Tilawaty, Annur, Al Barqy, Jet Tempur, Tombak Alam, Bagdadiyah, dll. Beragamnya metode memerlukan penanganan yang arif dari Pengurus Badko. Badko sebaiknya tidak mencampuri urusan metode, karena semua metode mempunyai tujuan yang sama yaitu anak bisa membaca Al Qur’an dengan tartil secara cepat dan efisien. Justru yang menjadi PR adalah pendidikan pasca TPQ yang belum diatur oleh masing-masing metode itu.


Oleh: HM. Nur Fawzan Ahmad (Ketua Badko TPQ Jateng), "Catatan Agenda Muswil IV Badko TPQ Jateng 24-26 April 2009"

Sumber: staff.undip.ac.id

0 komentar:

Pengin cari artikel lainnya...?!?