Banyaknya aksi perampokan bersenjata di beberapa wilayah Indonesia akhir-akhir ini, belum ada indikasi saling berkaitan satu sama lain. Meski, semua aksi terjadi dalam kurun waktu yang berdekatan. Dalam program Barometer yang disiarkan SCTV tanggal 25 Agustus lalu, Kadiv Humas Mabes Polri, Brigjen Pol. Iskandar Hasan menyatakan, ”Polri belum bisa memastikan apakah aksi perampokan yang selama ini terjadi merupakan kriminal murni, berkaitan dengan isu politik, atau yang lainnya.”
Aksi perampokan yang terjadi di Bank CIMB Niaga Cabang Aksara Medan Sumatra Utara beberapa waktu lalu misalnya, membuka mata kita betapa keamanan di daerah sangat minim. Aksi itu dilakukan oleh 16 orang bersenjata laras panjang. Dari lokasi kejadian, polisi menemukan sejumlah proyektil serta selongsong peluru dari senjata AK-47 dan M-16, yang merupakan senjata yang biasa digunakan oleh oknum aparat. Polri dinilai ”kecolongan” dalam hal ini. Menurut Brigjen Pol Iskandar, lolosnya senjata sampai di tangan para perampok disinyalir dari sisa konflik Aceh. Mengingat batas wilayah antara Aceh dan Medan bisa ditempuh hanya dengan jalur darat.
Persoalan ini, sekarang sedang jadi pembahasan hangat setiap elemen masyarakat di Indonesia. Karena masyarakat bukan fenomena pasif, yang sekadar beraksi, merespons rangsangan, atau dikendalikan lingkungan (misalnya saat menonton berita kriminal), tapi juga merupakan noumena, yakni makhluk yang berpikir dan berkehendak (mengubah lingkungan). Oleh sebab itu, masyarakat saat ini dibuat resah dengan maraknya berita perampokan bersenjata yang belum kunjung usai atau ada kejelasan dari pihak terkait. Lewat mekanisme cara berpikir ini, masyarakat bisa membayangkan apa pun yang spekulatif, bahkan fiktif. Kecenderungan seperti ini tidak lain dipengaruhi oleh berita di media, khususnya media elektronik.
Di Indonesia kini jumlah stasiun TV tidak kurang dari 11 buah (TVRI, RCTI, SCTV, Indosiar, AN-Teve, TPI, Trans7, Trans TV, Global TV/MTV). Semua ini belum termasuk TVRI regional di berbagai provinsi. Stasiun-stasiun TV itu, punya program acara berita, malah beberapa menyiarkan khusus berita kriminal. Terlepas dari mutunya, hampir semua stasiun TV nyaris mengudara tanpa henti (sekitar 20 jam per hari). Cara pandang masyarakat akhirnya tidak lepas dari apa yang mereka lihat dan dengar melalui media. Ambilan (shot), sudut pengambilan (angle), dan gerakan (motion) kamera TV bisa menimbulkan pengaruh yang berbeda pada masyarakat yang menonton. Bahkan melalui gerakan dan sudut pengambilan gambar di berita TV, dinilai bisa mencangkokkan kesadaran tertentu pada benak pemirsanya.
Masyarakat kita sekarang belum berada pada tahap yang mampu memilih dan memilah acara TV, khususnya berita kriminal yang layak. Padahal masih banyak berita kriminal yang kurang mengindahkan kode etik dan etika jurnalistik dalam siarannya. Dalam kasus perampokan ini pun, media TV seakan berlomba-lomba mem-blow up beritanya, karena mempunyai nilai berita yang tinggi. Kronologi perampokan dan beberapa kasus lain yang disiarkan secara runut, jelas, dan dengan kualitas gambar yang bagus memang memiliki kelebihan tersendiri bagi pemirsanya. Tapi kalau berita tersebut ternyata malah berdampak pada meningkatnya angka kriminal di Indonesia, harusnya keputusan berita yang akan ditayangkan (news judgement) oleh setiap produser berita TV harus ditinjau ulang.
Dalam berita TV, gambar mempunyai arti dan pengaruh yang jauh lebih besar dari kata-kata. Bahkan sebuah gambar dinilai tidak memerlukan banyak kata, karena telah bisa bercerita sendiri. Program acara berita kriminal yang menampilkan banyak adegan atau gambar yang mengandung unsur kekerasan fisik atau verbal, baik pada si pelaku atau korbannya bisa menjadi berkah atau musibah bagi masyarakat (pemirsa). Tergantung bagaimana masyarakat menyikapinya.
Kode Etik
Tentu akan menjadi berkah, kalau bisa meningkatkan kemampuan intelektual, moralitas, dan kemampuan komunikasi antarmasyarakat. Tapi merupakan musibah, kalau berita justru menimbulkan perselisihan atau konflik baru.
Setiap media massa punya kode etik sendiri-sendiri, karena setiap jenis media massa baik cetak, radio, maupun TV punya karakteristik masing-masing. Di antara ketiga media massa itu, media TV yang mempunyai kode etik paling luas dari segi substansi aturannya. Mengapa? Karena media TV menyiarkan dua hal sekaligus, narasi dan gambar.
Sejak dibukanya keran kebebasan pers dan Orde Baru runtuh, muncul banyak media TV baru. Kebanyakan media baru ini, cenderung menekankan pada berita-berita sensasional dan kurang menghormati kode etik. Ini terjadi karena belum ada aturan tegas perihal penyiaran yang bisa digunakan sebagai kode etik. Setidaknya pada Undang-Undang Nomor 32 tentang Penyiaran Tahun 2002 yang disahkan pada 22 Desember 2002.
Tayangan TV berimplikasi besar pada masyarakat. Karena itu, pelanggaran kode etik yang dilakukan melalui pemberitaan yang kurang etis harus ditindak tegas. Tidak hanya dengan sanksi moral, tapi juga sampai pada sanksi organisasi tempat wartawan bernaung, bahkan juga sanksi hukum untuk pelanggaran berat. Salah satu isi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang disusun Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berisi tentang pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sadisme. Padahal dalam berita kriminal TV, misalnya aksi perampokan di Bank CIMB Niaga Cabang Aksara Medan yang menewaskan seorang Brimob, masih sarat dengan adegan kekerasan. Contoh lain yang juga banyak terjadi, seseorang atau kelompok yang akhirnya nekat merampok karena terinspirasi sesudah menonton kronologi (reka ulang) adegan perampokan. Atau anak di bawah umur yang tega memperkosa teman sebayanya, sesudah menonton tayangan yang berbau seks dalam berita kriminal. TV merupakan medium yang mampu menjangkau masyarakat secara langsung, baik dari berbagai latar belakang usia maupun strata sosial. Karena itu, efek negatif yang ditimbulkan juga semakin besar. Seperti perubahan perilaku, karakter, dan mental masyarakat (pemirsa).
Saat ini masyarakat kita belum banyak yang teredukasi akan pentingnya memilih berita yang berkualitas. Karena memang belum banyak orang yang peduli akan dampak buruk tayangan kekerasan atau sadisme dalam berita kriminal TV. Sebenarnya memperoleh berita yang berkualitas merupakan hak masyarakat, supaya bisa membawa bangsa ini dalam pertumbuhan demokrasi yang positif. Sudah saatnya masyarakat mampu memilih dan memilah tayangan berita yang berkualitas!
Oleh: Ellen Meianzi Yasak, Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UMS, sedang menempuh Pendidikan S2 Kebijakan Komunikasi di FISIP UGM Yogyakarta
Sumber: Harian Joglosemar Online
0 komentar:
Posting Komentar