Dalam sejarahnya, dakwah Rasulullah tak pernah sepi dari gangguan kafir Quraisy. Di tengah tantangan dakwah itu, kesedihan yang tak terperikan dihadapi Rasulullah, yakni wafatnya dua orang paling disegani dan dikasihi Nabi SAW, yakni sang paman Abu Thalib, dan istri tercinta Khadijah. Dengan totalitas yang tak diragukan lagi, keduanya adalah pendukung setia dakwah Rasulullah. Wafatnya kedua pendukung utama ini, merupakan ujian besar bagi perjuangan Rasul SAW.
Dalam situasi seperti itu, Allah SWT "menghibur" Rasulullah dengan memperjalankannya ke langit melalui peristiwa Isra dan Mikraj, dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Palestina. Kemudian, dilanjutkan dengan perjalanan (Mikraj) ke Sidratul Muntaha (tempat tiada berbatas), Arasy (takhta Allah), hingga menerima wahyu secara langsung dari Allah SWT tanpa perantaraan Jibril, yakni perintah shalat. Peristiwa itu terjadi pada 27 Rajab, setahun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah.
"Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia (Allah) Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS Al-Isra [17]: 1).
Isra Mikraj bukanlah sekadar perjalanan 'hiburan' bagi Rasul. Isra Mikraj adalah perjalanan bersejarah yang menjadi titik balik kebangkitan dakwah Rasulullah SAW. John Renerd dalam buku In the Footsteps of Muhammad:
Understanding the Islamic Experience, seperti dikutip Azyumardi Azra, mengungkapkan bahwa Isra Mikraj adalah satu dari tiga perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasul SAW, selain perjalanan hijrah dan Haji Wada. "Isra Mikraj benar-benar merupakan perjalanan heroik dalam menempuh dunia gaib."
Bila hijrah dari Makkah ke Madinah pada 662 M menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, dan Haji Wada menandai penguasaan umat Islam atas kota suci Makkah, maka Isra Mikraj menjadi puncak perjalanan rohani seorang hamba menuju al-Khalik dalam menyempurnakan keimanannya (insan kamil).
Seyyed Hussein Nasr dalam buku Muhammad Kekasih Allah (1993) mengungkapkan, pengalaman rohani yang dialami Rasulullah saat Mikraj mencerminkan hakikat spiritual dari shalat. "Shalat adalah mikrajnya orang-orang beriman," demikian ungkapan sebuah hadis.
Dari peristiwa agung di atas, dapat kita tarik beberapa pelajaran. Pertama, adanya penderitaan dalam perjuangan yang harus dihadapi dengan kesabaran. Kedua, kesabaran akan berbuah balasan dari Allah berupa perjalanan Isra Mikraj dan perintah shalat. Ketiga, shalat menjadi senjata bagi Rasul SAW dan kaum Muslimin untuk bangkit dan merebut kemenangan. Ketaatan menjalankan shalat akan membuahkan masyarakat yang damai, bersih, dan jauh dari tindak korupsi.
Ketiga hal ini terangkum sangat indah dalam Alquran. "Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya."
Sumber: Republika
0 komentar:
Posting Komentar