Betapa bahayanya aksi itu, saat suatu kelompok secara leluasa ber-”kamikaze” menyerang kelompok lain yang dianggap berseberangan pemahaman agama. Akhirnya, substansi agama yang sejuk menjelma dalam paras yang kasar dan menakutkan. Wajar jika Moderate Muslim Society menilai tahun 2010 sebagai tahun kelam kebebasan beragama di Indonesia.
Dapatkah sektor pendidikan, khususnya pendidikan agama, memberikan sumbangsih dalam membangun kehidupan masyarakat yang humanis dan berwawasan multikultural?
Membangun toleransi dan kesepahaman antarsesama memang selayaknya ditanamkan sejak dini lewat jalur pendidikan. Apalagi sekolah menjadi jenjang peralihan dari keluarga ke masyarakat. Ketersediaan kurikulum pendidikan agama yang menekankan nilai-nilai luhur keagamaan sebagai software dalam berinteraksi membuat anak didik lebih siap menghadapi kehidupan yang plural.
Oleh karena itu, sekolah harus berperan ganda: tidak hanya mencerdaskan peserta didik lewat kegiatan alih pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga wajib melakukan transfer nilai (transfer value) sebagai pedoman bergaul dan mendefinisikan diri dalam masyarakat. Azyumardi Azra (1999) menegaskan, pendidikan dan pembelajaran multikultural di sekolah dapat membentuk kesadaran dan kepribadian anak didik, di samping transfer ilmu dan keahlian. Dengan proses semacam ini, suatu bangsa dapat mewariskan nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, pemikiran, dan keahlian kepada generasi mudanya sehingga siap dalam menghadapi realitas sosial yang heterogen.
Kendala utama pendidikan multikultural terletak pada praktik pendidikan agama yang cenderung indoktrinatif dan berkutat pada pengajaran ilmu agama. Idealnya, pendidikan agama lebih menekankan pada ajaran moral, seperti kasih sayang, tolong-menolong, toleransi, tenggang rasa, menghormati perbedaan ras, menghormati eksistensi orang lain, dan sikap-sikap lain yang mendukung hubungan harmonis antarsesama.
Sikap moral seperti itu dapat ditanamkan lewat pelajaran perbandingan agama, baik di sekolah umum maupun agama. Tentunya pendekatan yang digunakan bukan pendekatan apologetis dan polemis yang cenderung memojokkan agama lain, melainkan pendekatan fenomenologis dan dialogis yang terbuka dalam melihat sisi positif agama lain.
Sebenarnya pada dekade 1980-an pernah muncul wacana agar pemerintah memasukkan mata pelajaran perbandingan agama dalam kurikulum sekolah menengah atas (SMA). Namun, sebagian umat Islam menolak dengan dalih takut terjadi sinkretisme yang bisa menggerogoti iman anak didik.
Pendidikan multikultural
Kondisi kita memang berbeda dengan Barat. Hasil survei yang dilakukan PR May dan OR Johnson, dua peneliti pendidikan agama di sekolah-sekolah di Inggris timur laut, misalnya, menunjukkan bahwa 96 persen orangtua murid setuju jika anaknya belajar agama Kristen (agamanya sendiri) dan 80 persen setuju diajarkan agama-agama besar lainnya (FG Herod, 1968). Artinya, di Barat minat untuk memahami eksistensi agama-agama jauh lebih besar daripada di Indonesia.
Orang-orang Indonesia takut jika mempelajari agama lain berubah menjadi kafir. Pembelajaran perbandingan agama di samping membimbing cara bersikap anak untuk lebih terbuka dan toleran dalam hubungannya dengan orang yang berlainan keyakinan, juga memperkaya wawasan dan pengalaman keagamaan. Anak didik akan memiliki pandangan positif terhadap kemajemukan di sekitarnya.
Corak masyarakat Indonesia yang heterogen memiliki peluang besar dalam menerapkan pendidikan multikultural. Sebagai contoh, di Surabaya sudah banyak sekolah yang secara tidak langsung mengajarkan anak didiknya tentang cara bersikap toleran terhadap temannya yang berbeda agama. Itu penting agar anak didik sejak dini diajarkan cara memperlakukan dan menghargai teman lain.
Siswa Muslim dilatih bersikap inklusif dengan cara mencari hal-hal yang bisa dijadikan landasan hidup bersama, seperti prinsip kesatuan humanitas, kesadaran sebangsa-setanah air, dan tanggung jawab bersama sebagai khalifah di muka bumi. Tentunya guru-guru pembimbing harus terlebih dahulu memberikan keteladanan kepada para siswa.
Begitu juga siswa Kristen, perlu diajak berpikir kritis menyorot adagium klasik extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tak ada keselamatan). Apalagi, pasca-Konsili Vatikan II, gereja melahirkan pandangan teologi baru bahwa keselamatan Tuhan berlaku universal dan semua manusia akan dipanggil menuju keselamatan itu. Keterbukaan aklesial inilah yang perlu dijadikan rujukan agar siswa Kristen bisa menghargai kehadiran agama lain.
Bekal yang diperoleh dari sekolah yang menerapkan pendidikan multikultural tersebut akan jadi investasi sosial dalam bermasyarakat. Mereka tidak gampang diprovokasi karena dalam jiwanya telah tertanam nilai-nilai penghormatan terhadap kemajemukan.
Singkat kata, pemerintah perlu mendesain ulang kurikulum pendidikan agama berbasis multikultural yang lebih menyentuh pada persoalan konkret, seperti eksklusivisme, intoleransi, apatisme, dan diskriminasi rasial, sehingga fenomena pemberangusan atas nama agama dapat dieliminasi. Dengan demikian, sektor pendidikan bisa memberikan kontribusinya.
Oleh: Achmad Fauzi, Aktivis Multikulturalisme; Alumnus Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
Sumber: Kompas
0 komentar:
Posting Komentar