"Belajarlah terus, karena bisa saja ilmu yang kita miliki sudah kadaluarsa atau bahkan salah. Belajarlah sampai akhir hayat."

Selasa, 14 September 2010

Halalbihalal dan Harmonisasi

Sudah menjadi tradisi, halalbihalal selalu marak pada setiap bulan Syawal. Suatu fenomena religius yang kini telah menjadi fenomena nasional dan menjadi milik bangsa Indonesia. Di samping karena istilahnya juga khas Indonesia meskipun meminjam dari bahasa Arab, juga karena telah dirayakan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, tanpa kecuali yang nonmuslim.

Tulisan sederhana ini dihadirkan untuk mencoba menyorot fenomena halalbihalal dalam kaitannya dengan penciptaan masyarakat yang harmonis, yang berarti tidak semata menyangkut kebutuhan umat muslimin secara ideologis yang formal, tapi meliputi kemanusiaan secara universal. Hal ini terasa urgen karena dalam sistem dunia yang individualistik, tiranik, kapitalistik, dan eksploitatif, idealisasi masyarakat harmonis merupakan mimpi indah di siang bolong.

Ditegaskan dalam Alquran, bahwa fungsi utama puasa Ramadan adalah untuk menciptakan orang-orang yang bertakwa (la’allakum tattaqun). Ditegaskan dalam bentuk plural, karena ketakwaan yang dikehendaki bukan semata bersifat individual, tapi bahkan yang lebih urgen adalah ketakwaan sosial, yakni suatu masyarakat yang menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan dan aspek-aspek kebajikan lainnya.

Dalam ketakwaan sosial, segala bentuk interaksi kemanusiaan harus dilandasi dengan semangat yang etis, kolegial dan egalitarian baik dalam tampilan fisik maupun nonfisik. Semangat individualisme yang membuat manusia tersekat-sekat dalam kepentingan primordialnya masing-masing harus ditanggalkan.

Masyarakat semacam inilah kira-kira yang hadir dalam bahasan sosiolog kenamaan Perancis, Emile Durkheim sebagai suatu kesatuan manusia yang berinteraksi satu sama lain dengan dilandasi semangat solidaritas organis. Yakni suatu masyarakat yang diibaratkan sebagai organisme yang terdiri atas bagian-bagian yang saling kerja sama satu sama lain secara harmonis dan seimbang, tidak hantam kromo atau homo homini lupus. Atau pada sisi-sisi tertentu terdapat dalam apa yang diistilahkan oleh Ferdinand Tonnies sebagai Gemeinschaftlich atau Gesellschaftlich. Yakni suatu konstruksi masyarakat yang dibangun di atas hubungan positif antaranggota masyarakat yang diikat oleh sikap batiniah yang murni, alamiah, dan kekal.

Tidak bisa dimungkiri, di antara fenomena sosial keagamaan yang paling tepat untuk dijadikan wahana atau peranti bagi pembentukan masyarakat harmonis adalah halalbihalal. Karena bagaimanapun bentuknya dan variasinya, inti dari acara halalbihalal yang terpenting adalah adanya silaturahmi atau upaya saling memaafkan satu sama lain.

Dalam Alquran 3:134 mengemukakan bahwa seorang muslim dituntut atau dianjurkan untuk memaafkan orang lain yang berbuat salah padanya. Paling tidak tiga alternatif, menahan amarah, memaafkannya atau berbuat baik padanya.

Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang ingin dipanjangkan usianya dan ingin dikaruniai rezeki yang banyak, hendaklah ia (memaafkan saudaranya) dengan bersilaturahmi”. Para ulama menafsirkan panjang usia di sini bukan berarti diulur masa hidupnya di atas takdir yang telah ditentukan, tapi akan dikenang budi baiknya sepanjang masa. Jadi panjang usia bermakna metaforis. Sementara karunia rezeki yang banyak, merupakan konsekuensi logis dari sikapnya yang pemaaf pada setiap orang. Dengan demikian ia menjadi banyak kawan dan dengan sendirinya akan mudah mencari pertolongan ketika dilanda kesulitan hidup, termasuk dalam kesulitan ekonomi.

Nah, bisa dibayangkan kalau dalam suatu masyarakat dihuni oleh orang-orang yang gemar bersilaturahmi, maka masyarakat tersebut otomatis akan menjadi masyarakat yang harmonis, saling menolong satu sama lain dan saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. Masyarakat semacam inilah yang menurut terminologi Alquran disebut sebagai masyarakat (negara) yang baik, berguna dan menyenangkan serta di bawah keridaan Tuhan (baldatun thayyibatun wa-Rabbun Ghafur). Atau dalam istilah organisasi sosial keagamaan Muhammadiyah disebut sebagai masyarakat utama. Kedengarannya memang cenderung utopis, tapi kiranya tidak salah kalau masing-masing individu di antara kita punya niat baik untuk menuju ke arah itu.

Empat Sendi

Sendi-sendi untuk menuju masyarakat utama yang dikehendaki dalam pelaksanaan silaturahmi (halalbihalal), paling tidak ada empat sendi yang harus dipenuhi. Pertama, harus dilakukan dengan landasan cinta dan rela berkorban. Contoh (tipikal) masyarakat utama adalah masyarakat Madinah di zaman Rasulullah. Dikisahkan dalam Alquran 59:9, bahwa penduduk Madinah yang telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan para Muhajirin, mereka mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka, terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Kedua, tolong menolong dalam bersilaturahmi harus dilakukan dengan landasan kebajikan dan takwa. Disebutkan dalam Alquran 5:2, ”Dan tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran”.

Hal ini perlu ditegaskan karena pada situasi sekarang ini kita acap kali terkecoh. Banyak sekali jenis pertolongan yang pada hakikatnya mengandung unsur yang menjerumuskan kita. Contoh konkret pertolongan yang ditawarkan oleh para rentenir. Atau yang ditawarkan para politisi melalui bargaining position, sering kali juga mengandung “racun”.

Ketiga, dilakukan dengan lemah lembut. Silaturahmi adalah upaya mencari perdamaian atau titik temu dalam perselisihan. Hal ini tidak mungkin bisa dibangun dengan tata cara yang kasar dan tidak senonoh. Dalam dunia kita sekarang, praktik semacam ini juga banyak dilakukan, terutama oleh para pengambil keputusan yang kurang bijak. Memang tujuan jangka panjangnya untuk mencari keharmonisan kehidupan bersama (lingkungan), tapi caranya acap kali melalui intimidasi dan penggusuran tempat tinggal tanpa ampun. Alquran surat Ali Imran: 159 mengisyaratkan bahwa sikap kasar dan berhati keras akan membuat orang yang akan diajak silaturahmi akan berbalik menjauhi.

Keempat, tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. Yang terakhir inilah yang belum mentradisi di kalangan kita. Halalbihalal yang kita lakukan hanya sebatas saat Lebaran (Idul Fitri). Padahal kewajiban untuk melakukan islah (rekonsiliasi) dan menyambung tali persaudaraan tidak dibatasi dimensi ruang dan waktu, kapan pun, di mana pun dan dalam kondisi apa pun. Terutama pada saat kesatuan dan persatuan terancam keberadaannya di tengah-tengah komunitas kita.

Jika saja keempat sendi itu bisa ditegakkan ketika pelaksanaan silaturahmi atau halalbihalal, niscaya masyarakat yang harmonis akan mudah tercipta. Semoga.


Oleh: Muh Abu Nasrun, Kepala SD Muhammadiyah 1 Surakarta
Sumber: Harian Joglosemar Online

0 komentar:

Pengin cari artikel lainnya...?!?